Site icon Attaubah-institute.com

Bertaubat dari Dosa Suap

Bertaubat dari Dosa Suap

Bismillah. Mau tanya Ustadz, terkait suap menyuap menjadi pegawai jelas haram seperti dijelaskan al-Qur`an 2 : 188. Yang menjadi pertanyaan, apakah haram selamanya? Selama ia bekerja di tempat hasil suap tersebut apakah berarti semua penghasilan yang ia peroleh juga haram? Anak dan istrinya pun berarti diberi nafkah dari yang haram? Meskipun ia sudah bertaubat dengan sebenar-benarnya? 0813-9549-xxxx

Suap dalam kajian fiqih mu’amalah termasuk pada riba, karena memang ada unsur “kelebihan/bunga” dari yang seharusnya seseorang bayarkan. Ini didasarkan pada penjelasan shahabat ‘Abdullah ibn Salam:

عَنْ أَبِي بُرْدَةَ أَتَيْتُ الْمَدِينَةَ فَلَقِيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَلَامٍ  … قَالَ إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلَا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا

Dari Abu Burdah: Aku mendatangi Madinah, lalu menemui ‘Abdullah ibn Salam. Ia berkata: … “Sungguh kamu tinggal di negeri (Irak) yang riba di sana merajalela. Jika ada seseorang berutang kepadamu, lalu ia memberi hadiah setumpuk jerami, sepikul kacang sya’ir, atau setumpuk makanan, jangan kamu ambil, karena itu riba.” (Shahih al-Bukhari kitab al-manaqib bab manaqib ‘Abdillah ibn Salam no. 3814)

Maka dari itu al-Hafizh Ibn Hajar menuliskan hadits suap dan gratifikasi ini dalam bab riba di kitabnya Bulughul-Maram:

وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ  عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: مَنْ شَفَعَ لِأَخِيهِ شَفَاعَةً فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً فَقَبِلَهَا, فَقَدْ أَتَى بَابًا عَظِيماً مِنْ أَبْوَابِ اَلرِّبَا. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَفِي إِسْنَادِهِ مَقَالٌ

Dari Abu Umamah ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Barangsiapa memberi syafa’at (bantuan) kepada saudaranya, lalu ia diberi hadiah dan menerimanya, maka ia telah mendatangi sebuah pintu besar dari pintu-pintu riba.” Riwayat Ahmad dan Abu Dawud, dan dalam sanadnya ada pembicaraan (Bulughul-Maram kitab al-buyu’ bab ar-riba no. 861. Ibnul-Qaththan dalam al-Wahm wal-Iham 4 : 519 menilainya shahih. Demikian juga al-Albani dalam Silsilah as-Shahihah no. 3465).

وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللهِ ﷺ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ

Dari ‘Abdullah ibn ‘Amr ra ia berkata: “Rasulullah saw melaknat penyuap dan yang diberi suap.” Riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dan at-Tirmidzi menilainya shahih (Bulughul-Maram kitab al-buyu’ bab ar-riba no. 862).
Maka ketentuan taubatnya sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat riba, yaitu:

ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمۡرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ 

Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (QS. al-Baqarah [2] : 275).

Maksud “maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu” sebagaimana dijelaskan al-Hafizh Ibn Katsir, tidak perlu mengembalikan atau mengambil kembali uang riba atau suap yang telah dilakukan. Syaratnya cukup bertaubat dan berhenti, tanpa pernah mengulanginya kembali. Dengan demikian maka ia sudah gugur dari dosa suapnya. Meski ia bekerja di tempat kerja yang ia menyetorkan suap, pekerjaannya tersebut halal jika ia sudah bertaubat dari dosa suapnya tersebut. Wal-‘Llahu a’lam.

Exit mobile version