Bertaqwa dalam Janji

Amal lain yang akan mendatangkan cinta ilahi adalah bertaqwa dalam janji. Allah swt menyebutkan dalam tiga ayat al-Qur`an bahwa cinta-Nya pasti diberikan kepada orang-orang yang selalu bertaqwa dalam hal janji. Secara khusus disebutkan perjanjian sosial dan politik, tetapi maksudnya tentu berlaku umum dalam semua aspek kehidupan.

Istilah taqwa sudah tidak perlu lagi diuraikan panjang lebar. Asal maknanya membuat perlindungan diri atau takut. Dalam konteks syari’at, taqwa ditujukan kepada Allah swt dalam artian takut kepada-Nya dengan wujud amal melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Secara khusus dalam konteks “cinta ilahi” taqwa yang dimaksudkan adalah taqwa dalam hal janji. Secara tekstual, al-Qur`an menyebutkan perjanjian dalam hal sosial kemasyarakatan dan politik terhadap umat non-muslim. Akan tetapi maksudnya tentu umum, karena bentuk lafazhnya juga umum. Jika terhadap umat non-muslim saja perjanjian harus dipenuhi dengan tepat, apalagi tentunya kepada umat Islam.
Ayat pertama yang menyebutkan cinta Allah untuk orang yang bertaqwa adalah:

۞وَمِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ مَنۡ إِن تَأۡمَنۡهُ بِقِنطَارٖ يُؤَدِّهِۦٓ إِلَيۡكَ وَمِنۡهُم مَّنۡ إِن تَأۡمَنۡهُ بِدِينَارٖ لَّا يُؤَدِّهِۦٓ إِلَيۡكَ إِلَّا مَا دُمۡتَ عَلَيۡهِ قَآئِمٗاۗ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُواْ لَيۡسَ عَلَيۡنَا فِي ٱلۡأُمِّيِّ‍ۧنَ سَبِيلٞ وَيَقُولُونَ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ ٧٥ بَلَىٰۚ مَنۡ أَوۡفَىٰ بِعَهۡدِهِۦ وَٱتَّقَىٰ فَإِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَّقِينَ ٧٦

Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu Dinar, tidak dikembalikannya padamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: “Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang umi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. (Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa (QS. Ali ‘Imran [3] : 75-76).
Ayat 75 di atas memuji sekaligus menghina orang-orang Ahli Kitab dalam hal perjanjian dengan selain mereka. Yang dipuji adalah Ahli Kitab yang konsisten dengan janji dan amanah yang dipikulnya meski itu bersama dengan orang-orang non-Ahli Kitab. Sementara yang dihina adalah Ahli Kitab yang tidak konsisten dengan janji dan amanah yang dipikulnya karena menganggap tidak berdosa melanggar perjanjian dengan non-Ahli Kitab. Padahal yang benar, perjanjian itu bukan dilihat dari manusia yang berjanji dengannya, melainkan kepada Allah swt lah sebenarnya janji itu diikrarkannya. Maka dari itu dalam ayat 76 dinyatakan dengan tegas bahwa dengan siapapun orangnya, perjanjian itu harus dipenuhi, meski dengan orang yang berbeda agama sekalipun. Di sinilah maka orang yang bertaqwa akan menghadirkan ketaqwaannya, karena ia sadar janji itu hakikatnya ditujukan kepada Allah swt. Sungguh aneh jika kemudian seseorang berani melanggar janji yang sudah diikrarkannya kepada Allah swt. Dalam hal ini, Allah swt mengingatkan:

إِنَّ ٱلَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ ٱللَّهَ يَدُ ٱللَّهِ فَوۡقَ أَيۡدِيهِمۡۚ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَىٰ نَفۡسِهِۦۖ وَمَنۡ أَوۡفَىٰ بِمَا عَٰهَدَ عَلَيۡهُ ٱللَّهَ فَسَيُؤۡتِيهِ أَجۡرًا عَظِيمٗا ١٠

Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar (QS. a-Fath [48] : 10).
Dua ayat selanjutnya terdapat dalam bagian awal surat at-Taubah:

إِلَّا ٱلَّذِينَ عَٰهَدتُّم مِّنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ثُمَّ لَمۡ يَنقُصُوكُمۡ شَيۡ‍ٔٗا وَلَمۡ يُظَٰهِرُواْ عَلَيۡكُمۡ أَحَدٗا فَأَتِمُّوٓاْ إِلَيۡهِمۡ عَهۡدَهُمۡ إِلَىٰ مُدَّتِهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَّقِينَ ٤

Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian) mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa (QS. at-Taubah [9] : 4).

كَيۡفَ يَكُونُ لِلۡمُشۡرِكِينَ عَهۡدٌ عِندَ ٱللَّهِ وَعِندَ رَسُولِهِۦٓ إِلَّا ٱلَّذِينَ عَٰهَدتُّمۡ عِندَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۖ فَمَا ٱسۡتَقَٰمُواْ لَكُمۡ فَٱسۡتَقِيمُواْ لَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَّقِينَ ٧

Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin, kecuali dengan orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidilharam? maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa (QS. at-Taubah [9] : 7).
Dua ayat di atas, kedua-duanya terkait dengan perjanjian damai dengan umat non-muslim. Perjanjian untuk saling menjaga keamanan dan tidak saling mengganggu. Orang-orang yang bertaqwa dituntut untuk mampu memenuhi perjanjian-perjanjian tersebut dengan tepat, sebab pada hakikatnya semua perjanjian itu ditujukan kepada Allah swt, meski dibuat dengan non-muslim.
Dikaitkannya perjanjian sosial dan politik dalam ayat-ayat di atas dengan ketaqwaan, sungguh ditemukan korelasinya dalam konteks kehidupan keseharian. Perjanjian pertama yang disebutkan dalam surat Ali ‘Imran di atas jelas terkait simpan pinjam atau wakalah (mewakilkan) untuk menjaga satu barang amanah. Sudah menjadi buah bibir keseharian jika banyak umat Islam yang abai dalam hal perjanjian yang ini. Seorang muslim ketika meminjam banyak yang manis mulutnya, tetapi sungguh pahit ketika harus melunasi pinjamannya. Banyak di antara mereka yang bertitel Haji atau Hajjah tetapi abai dalam hal janji melunasi pinjamannya; mereka terlalu mudah meminjam tetapi sangat susah melunasi. Kuncinya bukan pada masalah mampu atau tidak mampu, melainkan dalam hal mau atau tidak mau berkomitmen pada janjinya. Jika komitmen pada janji dipegang teguh, pasti akan selalu ada jalan untuk melunasi pinjaman. Janji melunasi pinjaman yang selalu molor waktunya pertanda ketiadaan komitmen untuk memenuhi janji.
Maka dari itu tidak heran jika sebuah koperasi syari’ah yang unit usahanya simpan pinjam selalu gulung tikar di tengah jalan. Akibatnya riba dianggap satu-satunya solusi untuk menjamin keberlangsungan sebuah lembaga keuangan simpan pinjam. Semakin menjamurnya lembaga-lembaga keuangan simpan pinjam yang berbasis riba di setiap harinya, menunjukkan betapa kecilnya kadar ketaqwaan umat Islam dalam hal janji.
Demikian halnya dalam konteks perjanjian politik. Sudah menjadi rumus yang baku di kalangan politisi bahwa jika ada seratus janji yang disampaikan dalam kampanye, lalu yang berhasil diwujudkan hanya setengahnya, maka itu sudah merupakan sebuah pencapaian yang sangat bagus. Setengah janjinya lagi dianggap tidak dianggap berdosa jika kemudian mudah diumbar tetapi memang tidak diniatkan untuk dipenuhi.
Orang-orang yang berkarakter seperti di atas adalah orang-orang yang miskin taqwa dalam hatinya, meski ia rajin shalat, shaum, ‘umrah dan sudah haji. Atau bahkan meski ia juga aktif di majelis ta’lim, lembaga dakwah, atau ormas Islam. Semua ibadah dan pengorbanan tenaga-hartanya tidak lebih dari kamuflase belaka yang tidak sampai menghunjamkan taqwa dalam diri. Pantas sekali jika Nabi saw mengancam dengan tegas:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Tanda orang munafiq itu ada tiga: Apabila berkata dusta, berjanji ingkar, dan apabila diamanati khianat (Shahih al-Bukhari kitab al-iman bab ‘alamat al-munafiq no. 33).
Wal-‘iyadzu bil-‘Llah