Hanya orang bakhil yang malas bershalawat kepada Nabi Muhammad saw ketika nama beliau disebut. Apa susahnya bershalawat kepada manusia teragung ketika nyata jelas pahalanya besar dan bahkan dianjurkan untuk diperbanyak. Itulah sebabnya para ulama salaf sampai khalaf selalu mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad saw di setiap kali mengawali khutbah ketika namanya disebut dalam syahadat sesudah sanjungan untuk Allah swt.
Al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya menyebutkan bahwa shalawat harus selalu disebutkan ketika nama Nabi Muhammad saw disebut, baik dalam ucapan atau tulisan. Hanya khusus untuk tulisan, sebagaimana dikemukakan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari, Imam Ahmad mempraktikkannya sebatas di ucapan. Maksudnya shalawat diucapkan olehnya ketika menulis nama Nabi Muhammad saw, tetapi tidak dituliskan dalam tulisan. Dalil yang dijadikan dasarnya adalah sabda Nabi saw sendiri:
الْبَخِيلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ ثُمَّ لَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
Orang bakhil adalah orang yang aku disebut olehnya tetapi ia tidak bershalawat kepadaku (Musnad Ahmad bab hadits al-Husain ibn ‘Ali no. 1736; Sunan at-Tirmidzi bab faddlit-taubah wal-istighfar no. 3546).
Mengenai ijtihad Imam Ahmad yang ketika menulis nama Nabi Muhammad saw tidak menuliskan shalawatnya, tetapi sebatas diucapkan oleh lisannya, dijelaskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari ketika mensyarah tulisan basmalah sebagai pembuka Shahih al-Bukhari sebagai berikut:
وَيُؤَيِّدهُ مَا رَوَاهُ الْخَطِيب فِي الْجَامِع عَنْ أَحْمَد أَنَّهُ كَانَ يَتَلَفَّظ بِالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيّ ﷺ إِذَا كَتَبَ الْحَدِيث وَلَا يَكْتُبهَا، وَالْحَامِل لَهُ عَلَى ذَلِكَ إِسْرَاع أَوْ غَيْره ، أَوْ يُحْمَل عَلَى أَنَّهُمْ رَأَوْا ذَلِكَ مُخْتَصًّا بِالْخُطَبِ دُون الْكُتُب كَمَا تَقَدَّمَ ؛ وَلِهَذَا مَنْ اِفْتَتَحَ كِتَابه مِنْهُمْ بِخُطْبَةٍ حَمِدَ وَتَشَهَّدَ كَمَا صَنَعَ مُسْلِم ، وَاَللَّه سُبْحَانه وَتَعَالَى أَعْلَم بِالصَّوَابِ
Dan yang menguatkannya (bahwa para ulama salaf mengucapkan tahmid secara lafazh tapi tidak menuliskannya dalam kitab mereka) apa yang diriwayatkan oleh al-Khathib dalam kitab al-Jami’ dari Imam Ahmad bahwasanya beliau mengucapkan shalawat kepada Nabi saw apabila menulis hadits tetapi beliau tidak menuliskan shalawat tersebut. Yang mendorong hal tersebut adalah agar cepat atau lainnya. Atau mungkin para ulama itu memandang bahwa hal tersebut khusus untuk khutbah-khutbah saja, tidak untuk kitab-kitab, sebagaimana sudah disinggung sebelumnya. Oleh karena itu, siapa saja yang memulai kitabnya dengan khutbah, maka pasti ia bertahmid dan syahadat (termasuk shalawat) sebagaimana dilakukan oleh Imam Muslim. Wal-‘Llahu subhanahu wa ta’ala lebih tahu dengan yang benar.
Apa yang dilakukan oleh Imam Ahmad tersebut jelas bisa dibenarkan sebab yang dituntut oleh hadits di atas adalah mengucapkan shalawat, bukan menuliskannya. Demikian halnya bagi yang membaca tulisan nama Nabi Muhammad saw, meski tidak dituliskan shalawatnya, tetap saja sangat dianjurkan untuk mengucapkan shalawat tersebut agar tidak dikategorikan orang bakhil.
Penjelasan dari al-Hafizh Ibn Hajar di atas juga meniscayakan pemahaman para ulama bahwa ketika berkhutbah sudah seyogianya diawali oleh tahmid, syahadat, dan shalawat, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Muslim dalam mengawali kitabnya:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى مُحَمَّدٍ خَاتَمِ النَّبِيِّينَ وَعَلَى جَمِيعِ الأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ. أَمَّا بَعْدُ
Segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam, dan akibat yang baik bagi orang-orang yang bertaqwa, dan shalawat semoga senantiasa tercurah kepada Muhammad penutup para Nabi, dan kepada semua para Nabi dan Rasul. Amma ba’du…
Terdapat pemahaman keliru bahwa al-Hafizh Ibn Hajar membenarkan kitab-kitab sebelum Shahih Muslim ditulis oleh para ulama tanpa menuliskan shalawat kepada Nabi saw, seperti Muwaththa` Malik, Mushannaf ‘Abdurrazzaq, Musnad Ahmad, Shahih al-Bukhari dan Sunan Abi Dawud. Padahal Ibn Hajar bukan menyatakan tidak ada shalawatnya, melainkan sedang menjelaskan bahwa kitab-kitab tersebut tidak memulainya dengan khutbah, melainkan sebatas basmalah. Jika tidak ada khutbah otomatis tidak akan ada shalawat, sebab memang tidak disebut nama Nabi Muhammad saw-nya juga. Maka dari itu, sebagaimana terbaca di atas, al-Hafizh Ibn Hajar menegaskan bahwa para ulama yang memulai penulisan kitabnya dengan khutbah selalu dipastikan menulis sebagaimana halnya Imam Muslim, yakni menyebutkan shalawat. Bahkan Ibn Hajar dalam tulisannya di atas menyatakan shalawat itu mukhtashshan bil-khuthab; dikhususkan untuk khutbah-khutbah. Merupakan sebuah keanehan bagi para ulama jika ada nama Nabi Muhammad saw disebut tetapi tidak dilanjutkan dengan shalawat kepadanya. Maka dari itu bisa dipastikan, semua kitab yang ditulis oleh para ulama dan mereka memulainya dengan khutbah, akan selalu dituliskan juga shalawat untuk Nabi Muhammad saw pada permulaan khutbahnya.
Al-Hafizh Ibn Hajar sendiri dalam mengawali tulisannya di atas menyatakan bahwa persyaratan khutbah itu adalah memuji Allah swt dan menegaskan kesaksian (syahadat) akan kenabian Muhammad saw, berdasarkan hadits-hadits berikut:
كُلّ أَمْر ذِي بَال لَا يُبْدَأ فِيهِ بِحَمْدِ اللَّه فَهُوَ أَقْطَع
Setiap urusan penting yang tidak dimulai dengan hamdalah maka itu terputus pahalanya (Shahih Ibn Hibban bab ma ja`a fil-ibtida` bi hamdil-‘Llah no. 1. Al-Hafizh Ibn Hajar menyebutkan dalam Fathul-Bari riwayat Abu Dawud. Yang kami temukan dalam riwayat Abu Dawud no. 4842 redaksinya kullu kalam la yubda`u fihi bil-hamdu lillah fa huwa ajdzam; setiap perkataan yang tidak dimulai alhamdu lillah maka itu terputus. Kedua sanad di atas dinilai dla’if oleh Syaikh al-Albani dan Syu’aib al-Arnauth).
كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيهَا تَشَهُّدٌ فَهِىَ كَالْيَدِ الْجَذْمَاءِ
Setiap khutbah yang tidak ada padanya tasyahhud (syahadat) maka itu seperti tangan yang potong (Sunan Abi Dawud bab fil-khutbah no. 4843)
Al-Qur`an sendiri menyatakan bahwa ketika disanjung nama Allah swt, maka nama Nabi Muhammad saw juga harus turut disanjung pula.
وَرَفَعۡنَا لَكَ ذِكۡرَكَ ٤
Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu (QS. al-Insyirah [94] : 4)
Al-Hafizh Ibn Katsir menuliskan beberapa riwayat yang saling menguatkan dalam kitab Tafsirnya bahwa yang dimaksud adalah: “Ketika nama Allah disebut, maka nama Nabi Muhammad saw pun disebut.” Di antaranya dalam syahadat.
Jadi hadits-hadits Nabi Muhammad saw yang selalu menyebutkan bahwa beliau memulai khutbahnya dengan hamidal-‘Llah wa atsna ‘alaihi; bertahmid kepada Allah dan menyanjung-Nya, maksudnya otomatis dengan menyanjung juga Nabi Muhammad saw dan bershalawat untuknya, sebab pantang disebut nama Nabi Muhammad saw tanpa shalawat kepadanya. Itulah yang tampak pada pengamalan para ulama salaf dan khalaf, bahkan sampai ulama pada zaman sekarang ini, ketika mereka memulai khutbah baik secara lisan atau tulisan.
Para ulama tersebut tidak merujuk hadits-hadits Nabi saw yang menjelaskan muqaddimah khutbahnya tanpa menyebutkan shalawat sebagai dalil bahwa shalawat sebaiknya tidak diucapkan atau bahkan haram/bid’ah mengucapkan shalawat dalam khutbah. Sebab perintah shalawat tidak ditujukan kepada Nabi Muhammad saw sendiri, melainkan kepada umatnya. Jadi pantas kalau Nabi Muhammad saw tidak bershalawat kepada dirinya sendiri, selain pada momen-momen ibadah yang wajib seperti ketika duduk tasyahhud dalam shalat. Dalil-dalil seputar khutbah Nabi Muhammad saw itu semuanya dalil fi’li; sebatas informasi perbuatan. Dalil yang fi’li tidak bisa menjadi pembatas wajib atau haramnya sesuatu. Melainkan sebatas menunjukkan demikianlah khutbah Rasulullah saw dan sangat bagus jika dicontoh. Akan tetapi mengingat ada banyak hadits-hadits lain yang juga menganjurkan shalawat ketika menyebut dan menyanjung nama Nabi Muhammad saw, maka hadits-hadits tersebut dikompromikan dengan cara bisa diamalkan kedua-duanya. Sehingga jadinya, khutbah seperti Rasulullah saw diamalkan dan shalawat dalam khutbah pun diamalkan.
Khutbah semacam ini dipraktikkan juga oleh shahabat seperti ‘Ali ibn Abi Thalib, sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya. Seandainya shalawat dalam khutbah bid’ah/haram, tentu shahabat tidak akan mungkin mengamalkannya, demikian juga para ulama salaf dan khalaf di sepanjang zaman.
قَالَ عَوْنُ بْنُ أَبِي جُحَيْفَةَ: كَانَ أَبِي مِنْ شُرَطِ عَلِيٍّ وَكَانَ تَحْتَ الْمِنْبَرِ فَحَدَّثَنِي أَبِي: أَنَّهُ صَعِدَ الْمِنْبَرَ يَعْنِي عَلِيًّا فَحَمِدَ اللهَ تَعَالَى وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَصَلَّى عَلَى النَّبِيِّ ﷺ وَقَالَ: خَيْرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا أَبُو بَكْرٍ، وَالثَّانِي عُمَرُ، وَقَالَ: يَجْعَلُ اللهُ تَعَالَى الْخَيْرَ حَيْثُ أَحَبَّ
‘Aun ibn Abi Juhaifah berkata: Ayahku (Abu Juhaifah) termasuk pengawal ‘Ali dan selalu berdiri di bawah mimbar. Ayahku mengajarkan hadits kepadaku bahwasanya ia—yakni ‘Ali—naik mimbar, lalu bertahmid kepada Allah ta’ala, menyanjung-Nya, dan bershalawat kepada Nabi saw dan berkata: “Sebaik-baiknya umat ini setelah Nabinya adalah Abu Bakar. Yang kedua ‘Umar. Kemudian Allah menjadikan kebaikan di mana Dia menghendaki.” (Musnad Ahmad bab musnad ‘Ali ibn Abi Thalib no. 837. Syu’aib al-Arnauth menilai sanad hadits ini qawiy; kuat. Rawi-rawinya tidak ada seorang pun yang cacat).
Catatan: Terdapat peneliti hadits yang menghimpun hadits ‘Ali ibn Abi Thalib ini dari berbagai jalur periwayatannya dan menyimpulkan bahwa hadits di atas dla’if karena mukhalifah lits-tsiqat (bertentangan dengan rawi tsiqat) dan menilai pernyataan shalawat di atas idraj; sisipan yang dipaksakan, karena dari sekian riwayat yang ada yang hanya menyebutkan shalawat, sanad yang ini saja. Hemat penulis, kesimpulan tersebut tidak tepat, sebab penilaian idraj dan mukhalifah lits-tsiqat itu jika memang “bertentangan”. Faktanya tidak, sebatas ada tambahan informasi. Dari sanad-sanad yang lain tidak disebutkan ada shalawat, bahkan kebanyakannya tidak disebutkan sedang berkhutbah, sedangkan pada sanad di atas disebutkan sedang berkhutbah dan membaca shalawat. Data seperti ini seharusnya ziyadah minats-tsiqah; tambahan informasi dari rawi tsiqah dan itu maqbulah; bisa diterima. Hal seperti ini lumrah ditemukan di berbagai sanad yang tsiqah. Hampir dipastikan tidak ada matan yang serupa di semua sanad suatu hadits. Tetapi sepanjang semuanya terbukti bersanad kuat, maka variasi matan itu jadi saling mengisi dan menambah informasi. Jika logika ini mau diterapkan, berarti harus disimpulkan juga bahwa hadits-hadits yang menyatakan ‘Ali menyampaikan pernyataan di atas sedang khutbah juga dla’if, bukan sebatas shalawatnya. Tentu tidak demikian.
Imam as-Syafi’i dan Imam Ahmad, sebagaimana disinggung oleh Ibnul-Qayyim al-Jauziyyah dalam Jala`ul-Afham, menyatakan wajib bershalawat untuk Nabi saw dalam memulai khutbah. Hal itu disebabkan tuntutan hadits di atas yang mengancam bakhil kepada siapa yang enggan bershalawat kepada Nabi Muhammad saw ketika beliau disebut olehnya. Akan tetapi Ibnul-Qayyim al-Jauziyyah sendiri keberatan jika disimpulkan bahwa shalawat wajib dalam khutbah dan bahwa khutbah tanpa shalawat tidak sah. Untuk yang demikian itu perlu dalil perintah yang tegas bahwa khutbah wajib memakai shalawat, tetapi dalil untuk itu tidak ada. Akan tetapi tidak bisa dinafikan bahwa shalawat dalam memulai khutbah menurutnya merupakan amal yang masyhur sejak zaman shahabat radliyal-‘Llahu ‘anhum.
فَهَذَا دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّ الصَّلاَةَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْخُطَبِ كَانَ أَمْرًا مَشْهُوْرًا مَعْرُوْفًا عِنْدَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ. وَأَمَّا وُجُوْبُهَا فَيَعْتَمِدُ دَلِيْلاً يَجِبُ الْمَصِيْرُ إِلَيْهِ
Ini adalah dalil bahwasanya shalawat untuk Nabi saw dalam khutbah adalah hal yang masyhur dan dikenal di kalangan shahabat, semoga Allah meridlai mereka semuanya. Adapun sampai mewajibkannya, memerlukan dalil yang bisa dijadikan rujukan pasti (Jala`ul-Afham fi Fadllis-Shalat was-Salam ‘ala Khairil-Anam, hlm. 441).
Wal-‘Llahu a’lam.