Bershalawat untuk Nabi Muhammad ﷺ Bag 2

Shalawat untuk Nabi Muhammad saw sudah sepantasnya dipanjatkan sebanyak mungkin sebagaimana tuntunan sunnah. Tidak berlebihan melampaui sunnah karena khawatir masuk pada bid’ah, tidak juga kurang dari tuntunan sunnah karena khawatir masuk pada sikap tidak menyukai sunnah. Nabi saw sendiri sudah mengingatkan: “Man raghiba ‘an sunnati fa laisa minni; siapa yang tidak menyukai sunnahku maka ia bukan bagian dari umatku.”
Selain dalam duduk tasyahhud, shalawat juga disunnahkan dalam beberapa waktu dan tempat lainnya, di antaranya:
Kedua, dalam setiap dzikir dan do’a, khususnya dzikir dan do’a di akhir malam. Shahabat Ubay ibn Ka’ab meriwayatkan:
كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِذَا ذَهَبَ ثُلُثَا اللَّيْلِ قَامَ فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا اللَّهَ اذْكُرُوا اللهَ جَاءَتِ الرَّاجِفَةُ تَتْبَعُهَا الرَّادِفَةُ جَاءَ المَوْتُ بِمَا فِيهِ جَاءَ المَوْتُ بِمَا فِيهِ، قَالَ أُبَيٌّ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أُكْثِرُ الصَّلاَةَ عَلَيْكَ فَكَمْ أَجْعَلُ لَكَ مِنْ صَلاَتِي؟ فَقَالَ: مَا شِئْتَ. قَالَ: قُلْتُ: الرُّبُعَ، قَالَ: مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ، قُلْتُ: النِّصْفَ، قَالَ: مَا شِئْتَ، فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ، قَالَ: قُلْتُ: فَالثُّلُثَيْنِ، قَالَ: مَا شِئْتَ، فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ، قُلْتُ: أَجْعَلُ لَكَ صَلَاتِي كُلَّهَا قَالَ: إِذًا تُكْفَى هَمَّكَ، وَيُغْفَرُ لَكَ ذَنْبُكَ
Rasulullah saw apabila telah berlalu 2/3 malam bangun dan berkata: “Hai manusia, berdzikirlah kalian kepada Allah, berdzikirlah kalian kepada Allah. Pasti datang tiupan pertama yang menghancurkan alam. Lalu mengikutinya tiupan kedua yang membangkitkan. Kematian dan semua yang ada padanya pasti datang. Kematian dan semua yang ada padanya pasti datang.” Ubay bertanya: “Wahai Rasulullah, saya ingin memperbanyak shalawat untukmu, berapa banyak aku harus bershalawat untukmu dari do’aku?” Beliau menjawab: “Terserah kamu.” Ubay bertanya: “¼ ?” Beliau menjawab: “Terserah kamu. Jika kamu tambah, itu baik untukmu.” Ubay bertanya: “Kalau ½?” Beliau menjawab: “Terserah kamu. Jika kamu tambah, itu baik untukmu.” Ubay bertanya lagi: “Kalau 2/3?” Beliau menjawab: “Terserah kamu. Jika kamu tambah, itu baik untukmu.” Ubay bertanya: “Kalau begitu aku jadikan do’aku semuanya untuk (bershalawat atas)-mu.” Beliau menjawab: “Jika demikian, pasti dicukupkan kebutuhanmu dan diampuni dosamu.” (Sunan at-Tirmidzi abwab shifatil-qiyamah war-riqaq bab ma ja`a fi shifat awanil-haudl no. 2457).
Dalam riwayat Ahmad, Nabi saw menjawab kesanggupan Ubay untuk mengisi do’anya dengan shalawat untuk Nabi saw dengan sabda:
إِذَنْ يَكْفِيَكَ اللهُ مَا أَهَمَّكَ مِنْ دُنْيَاكَ وَآخِرَتِكَ
Jika demikian, Allah pasti mencukupkanmu apa yang jadi kebutuhanmu di dunia dan akhirat (Musnad Ahmad hadits at-Thufail ibn Ubay ibn Ka’ab ‘an abihi no. 21242).
Imam at-Tirmidzi berkata: “Ini adalah hadits hasan.” Sebab dalam sanadnya terdapat rawi bernama ‘Abdullah ibn Muhammad ibn ‘Aqil, yang menerima dari at-Thufail putra Ubay ibn Ka’ab, dari Ubay ibn Ka’ab. Al-Hafizh Ibn Hajar dalam at-Taqrib menilainya shaduq fi haditsihi layyin; orang jujur, tetapi dalam haditsnya ada sedikit kelemahan. Rawi yang seperti ini berarti tidak rusak hafalan, hanya kurang sempurna hafalan/ingatannya. Tetapi intinya ia orang yang jujur. Rawi seperti ini berstatus hasan. Menurut Syu’aib al-Arnauth, terdapat juga syahid dla’if untuk hadits ini sehingga bisa saling menguatkan, yaitu: (1) Hadits Ya’qub ibn Zaid at-Taimi dalam Mushannaf ‘Abdurrazzaq bab as-shalat ‘alan-Nabiy saw no. 3114, dan (2) Habban ibn Munqidz dalam al-Mu’jamul-Kabir at-Thabrani bab Habban ibn Munqidz al-Anshari no. 3574 (Takhrij Musnad Ahmad terbitan Mu`assasah ar-Risalah no. 21242).
Ibnul-Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya yang khusus membahas shalawat untuk Nabi saw, Jala`ul-Afham fi Fadllis-Shalat was-Salam ‘ala Muhammad Khairil-Anam, menjelaskan, rawi ‘Abdullah ibn Muhammad ibn ‘Aqil dijadikan hujjah oleh imam-imam besar hadits seperti al-Humaidi, Ahmad, Ishaq, ‘Ali ibnul-Madini, at-Tirmidzi dan lainnya. Sehingga pantas jika Imam at-Tirmidzi menilainya shahih atau hasan. Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah sendiri pernah ditanya tentang maksud hadits ini dan beliau menjelaskan: Ubay ibn Ka’ab selalu menyempatkan do’a khusus untuk dirinya sendiri, lalu ia bertanya bolehkah jika ¼ dari do’anya diisi dengan shalawat untuk Nabi saw? Maka Nabi saw menjawab silahkan, lebih banyak juga lebih baik. Sampai kemudian Ubay hendak menjadikan ½ dari do’anya atau bahkan semua waktu berdo’anya untuk bershalawat untuk Nabi saw. Maka Nabi saw menjawab, itu akan menyebabkan segala kebutuhannya terpenuhi dan dosa-dosanya diampuni, sebab seseorang yang bershalawat kepada Nabi saw satu kali saja akan dibalas dengan 10 shalawat untuknya. Sementara siapa saja orangnya yang diberi shalawat oleh Allah swt otomatis segala kebutuhannya dipenuhi dan dosa-dosanya diampuni.
Penjelasan yang tidak jauh beda dikemukakan juga oleh Imam al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul-Ahwadzi Syarah Kitab Sunan at-Tirmidzi dimana ia juga mengutip pernyataan Imam al-Mundziri yang menilai sanad hadits di atas jayyid (bagus), demikian juga Imam al-Qari yang menyatakan bahwa riwayat hadits ini banyak. Ketika mensyarah hadits di atas Imam al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa maksud pernyataan Ubay adalah ia sering berdo’a dan ia ingin sekali dalam setiap do’anya itu disertakan shalawat untuk Nabi saw. Maka ia bertanya kepada beliau berapa banyak dari saat berdo’anya itu yang diperuntukkan shawalat untuk beliau? Maka Nabi saw mempersilahkan mau ¼, ½, 2/3 atau bahkan semua waktu berdo’anya diisi dengan shalawat untuk Nabi saw pun bagus-bagus saja. Sebab semua kebutuhan yang dimohonkan dan semua dosa yang diistighfarkan juga otomatis akan diijabah oleh Allah swt melalui shalawat untuk Nabi Muhammad saw.
Ini jadi dalil fadlilah shalawat untuk Nabi saw yakni berupa dipenuhi segala kebutuhan dan diampuni dosa, sejalan dengan hadits-hadits yang sudah dibahas sebelumnya bahwa satu shalawat untuk Nabi saw akan mendatangkan juga shalawat untuk pengucapnya sebanyak 10 kali lipat. Shalawat untuk pengucapnya berarti keberkahan dan kemuliaan, bentuk konkritnya adalah dipenuhi segala kebutuhan dan diampuni dosa. Tentunya ijabah segala kebutuhan itu sebagaimana sudah menjadi sunnatullahnya, bisa disegerakan di dunia, ditangguhkan sampai di akhirat, atau dipenuhi dengan yang senilai.
Ini juga menjadi dalil dianjurkannya dalam setiap do’a yang dipanjatkan untuk disertai shalawat untuk Nabi saw, diutamakan dalam do’a di akhir malam menjelang shubuh sebagaimana dalam hadits Ubay ibn Ka’ab di atas. Minimalnya tentu satu kali, boleh ¼-nya, ½-nya, 2/3-nya, atau keseluruhan waktu berdo’a diisi dengan shalawat pun tidak jadi masalah, bahkan bagus-bagus saja, sebagaimana ditegaskan oleh Nabi saw di atas. Bisa di awal do’a, pertengahan atau sela-sela do’a-do’a yang dipanjatkan, bisa juga di akhir do’a, sebab tidak ditentukan saatnya dalam hadits yang ditulis di atas.
Al-Hafizh Ibn Katsir sendiri dalam kitab Tafsirnya menyoroti secara khusus shalawat sebagai kunci dari do’a, yang dalam tulisan sebelumnya dimasukkan dalam point kesembilan, berdasarkan pada riwayat at-Tirmidzi yang merupakan pernyataan Umar ibn al-Khaththab sebagai berikut:
إِنَّ الدُّعَاءَ مَوْقُوفٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ لَا يَصْعَدُ مِنْهُ شَيْءٌ حَتَّى تُصَلِّيَ عَلَى نَبِيِّكَ ﷺ
Sesungguhnya do’a itu tertahan di antara langit dan bumi, tidak akan terangkat darinya sedikit pun sampai kamu bershalawat kepada Nabimu saw (Sunan at-Tirmidzi abwab al-witr bab ma ja`a fi shifat awanil-haudl no. 486).
Dalam sanadnya ada rawi bernama Abu Qurrah al-Asadi. Abu Hatim, Ibn Khuzaimah, dan Ibn Hajar menyatakan tidak ditemukan data yang men-jarah atau men-ta’dil-nya. Jadi termasuk rawi yang majhul (tidak dikenal). Statusnya dla’if yang tidak parah (karena bukan jelas-jelas sebagai pendusta atau pelaku munkar). Syaikh al-Albani menghimpun berbagai riwayat lainnya yang semakna dari as-Sakhawi dalam al-Qaulul-Badi’, al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman, at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, al-Harawi dalam Dzammul-Kalam, dan ad-Dailami, yang kesemuanya mauquf pada shahabat dan semuanya menyatakan bahwa do’a akan ter-mahjub (tertahan) selama tidak disertakan shalawat, sehingga beliau menyimpulkan hadits-hadits mauquf di atas yuqawwi ba’dluha ba’dlan (saling menguatkan) dan naik statusnya menjadi hasan.
Hadits mauquf yang hasan di atas itu sendiri tentunya bukan dari hasil ijtihad shahabat, sebab terkait ibadah, sehingga dipastikan dari Nabi saw. Yang seperti ini, menurut Syaikh Ahmad Syakir, termasuk marfu’ hukman (secara hukum marfu’ dari Nabi saw). Maka hadits ini bisa dijadikan hujjah.
Hemat penulis, jika ada yang keukeuh menilai hadits mauquf ini dla’if, tetap saja dirujukkan pada hadits Ubay ibn Ka’ab di atas yang jelas-jelas hasan. Sehingga dalam berdo’a dianjurkan disertakan shalawat untuk Nabi saw di dalamnya. Bagi yang ingin mengikuti ijtihad al-Hafizh Ibn Katsir dan Syaikh al-Albani berarti lebih ditekankan lagi agar di setiap do’a harus disertakan shalawat untuk Nabi saw agar lebih terjamin diijabah.
Al-Hafizh Ibn Katsir juga menyatakan: Wa min akidi dzalik du’a`ul-qunut; di antara yang ditekankan adanya shalawat tersebut adalah dalam do’a qunut. Berdasarkan hadits berikut:
عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: عَلَّمَنِي رَسُولُ اللهِ ﷺ كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي قُنُوتِ الْوِتْرِ: اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ, وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ, وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ, وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ, وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ, فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ, إِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ, (وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ) تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ. رَوَاهُ الْخَمْسَةُ. وَزَادَ الطَّبَرَانِيُّ وَالْبَيْهَقِيُّ: وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ. زَادَ النَّسَائِيُّ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ فِي آخِرِهِ: وَصَلَّى اللهُ عَلَى النَّبِيِّ
Dari al-Hasan ibn ‘Ali ra: Rasulullah saw mengajarkanku kalimat yang aku baca dalam qunut witir: “Ya Allah, berilah aku petunjuk bersama orang-orang yang engkau beri petunjuk. Berilah aku ‘afiyah/keselamatan bersama orang-orang yang Engkau beri ‘afiyah. Jagalah aku bersama orang-orang yang Engkau jaga. Berilah aku barakah dalam setiap hal yang Engkau beri. Jauhkanlah aku dari kejelekan yang Engkau tetapkan. Sesungguhnya Engkau Yang Menetapkan dan tidak ada yang bisa menetapkan mendahului-Mu. Sungguh tidak akan hina orang yang Engkau jadikan wali (dalam riwayat at-Thabrani dan al-Baihaqi ada tambahan: Sungguh tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi) Mahabarakah Engkau wahai Rabb kami dan Mahatinggi.” Lima imam meriwayatkannya. Dalam riwayat at-Thabrani dan al-Baihaqi ada tambahan: Sungguh tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi (dibaca sesudah la yadzillu wan walaita—pen). An-Nasa`i menambahkan dari sanad yang lain di akhirnya: “Dan semoga Allah bershalawat kepada Nabi.” (Bulughul-Maram no. 328)
Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ menilai hadits ini shahih. Bahkan sebagaimana dikemukakan Imam at-Tirmidzi ini adalah do’a qunut yang paling shahih (al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab 3 : 496). Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Bulughul-Maram (no. 328) dan at-Talkhishul-Habir (no. 372) menilai hadits ini juga shahih. Akan tetapi khusus, untuk shalawat di akhirnya yang riwayat an-Nasa`i, statusnya dla’if karena ada rawi ‘Abdullah ibn ‘Ali ibn Husain yang tidak pernah bertemu dengan kakak kakeknya, al-Hasan ibn ‘Ali. Syaikh al-Albani juga menilai sama. Akan tetapi menurutnya disebabkan ada riwayat bahwa para shahabat mempraktikkan shalawat ini di akhir qunutnya, maka ini bisa jadi dalil penguat diperbolehkan adanya shalawat di akhir qunut witir. Terlebih jika dikaitkan dengan hadits Ubay ibn Ka’ab di awal. Syaikh al-Albani juga menekankan bahwa qunut witir ini tidak dibatasi di bulan Ramadlan saja, apalagi di 10 hari terakhir saja, melainkan umum di setiap shalat witir. Boleh dilaksanakan atau tidak, mengingat hanya shahabat al-Hasan ibn ‘Ali saja yang meriwayatkannya (Ashlu Shifat Shalat Nabi 3 : 970-978).
Hadits Ubay ibn Ka’ab di awal juga jadi dalil bahwa dalam hal ibadah shalawat untuk Nabi saw, dalilnya jangan terpaku pada pengamalan Nabi saw saja. Maksudnya, jangan karena Nabi saw tidak pernah mengamalkan atau mencontohkan, maka kemudian dijadikan dalil bahwa itu tidak disunnahkan. Sebabnya yang diperintahkan shalawat untuk Nabi saw itu adalah kaum muslimin, bukan Nabi Muhammad saw sendiri. Maka dari itu tidak tepat jika kemudian dipahami bahwa dalam do’a tidak perlu ada shalawat karena Nabi saw sendiri tidak pernah bershalawat dalam do’anya. Terang saja, karena Nabi saw tidak pernah dituntut bershalawat untuk dirinya sendiri. Semestinya, semua dalil shahih dari Nabi saw yang memberikan tuntunan atau membenarkan (taqrir) pengamalan shahabat juga dikategorikan sunnah. Dalam hal shalawat ini akan ditemukan banyak contoh kasusnya, sebagaimana akan dibahas pada pembahasan berikutnya.
Wal-‘Llahu a’lam.