Balada Masjid al-Aqsha

Di antara tiga masjid yang diistimewakan oleh Nabi saw, Masjid al-Aqsha terbilang masjid yang sampai hari ini selalu diliputi oleh tragedi, berbeda dengan Masjidil-Haram dan Masjid Nabawi. Itu disebabkan kedua masjid suci tersebut sudah dikuasai sepenuhnya oleh umat Islam, sementara Masjid al-Aqsha berada di bawah bayang-bayang penguasa Yahudi. Maka akan selalu menjadi tugas besar umat Islam memastikan masjid di bumi Yerussalem ini selalu menjadi milik umat Islam meski penguasa Yahudi akan selalu berusaha merongrongnya.
Desakan dari semua umat Islam di dunia, terutama dari para pemimpin negara-negara muslim, akhirnya berhasil memaksa Israel untuk menghentikan penutupan Masjid al-Aqsha selama dua Jum’at. Meski berdasarkan Resolusi PBB 1967 Yerussalem tidak termasuk wilayah Israel ataupun Palestina, melainkan menjadi wilayah internasional, Israel tetap saja bersikukuh bahwa Yerussalem dimana Masjid al-Aqsha berada, termasuk wilayah kekuasaan Israel. Sehingga arogansi kekuasaan militer dan polisi pun selalu dilakukan Israel di salah satu tanah suci umat Islam ini. Yang agak mendingan, pengelolaan Masjid al-Aqsha—atas desakan negara-negara muslim juga—berada di bawah satu Lembaga Wakaf independen yang dipimpin oleh para ulama Palestina.
Desakan-desakan dari umat Islam sedunia, terutama para pemimpin negara muslim, untuk melindungi Masjid al-Aqsha memang tidak boleh terhenti. Itu sebagai usaha minimal menjaga kesucian tanah Masjid al-Aqsha dari penjajah Yahudi. Meski tentunya dalam tahap maksimal harus sampai berhasil mengembalikan Masjid al-Aqsha ke dalam penguasaan pemerintahan muslim sepenuhnya, yang dalam hal ini adalah Negara Palestina.
Kepedulian untuk tetap menjaga kesucian Masjid al-Aqsha ini merupakan panggilan dari ajaran Islam di berbagai ayat dan hadits, tertuju kepada semua umat muslim di seluruh dunia. al-Qur`an sendiri menyebutkan dengan jelas eksistensi Masjid al-Aqsha ini di salah satu ayatnya:

سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلٗا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِي بَٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنۡ ءَايَٰتِنَآۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ ١

Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya (Syam dan sekitarnya) agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. al-Isra` [17] : 1).
Al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab Tafsirnya, dengan menghimpun riwayat dari setidaknya 26 shahabat, menjelaskan bahwa Nabi saw benar-benar melakukan isra` (perjalanan malam) dalam satu malam saja dari Masjidil-Haram di Makkah ke Masjid al-Aqsha di Palestina. Lalu dari Masjid al-Aqsha tersebut Nabi saw diangkat ke langit (mi’raj), dan sepulangnya dari langit Nabi saw turun kembali ke Masjid al-Aqsha lalu mengimami shalat shubuh dengan ma`mum para Nabi ‘alaihimus-salam di masjid tersebut berdasarkan petunjuk Jibril. Setelah itu kembali lagi ke Makkah dalam keadaan matahari belum terbit.
Meski diduga kuat pada waktu Nabi saw isra mi’raj tersebut Masjid al-Aqsha masih berupa puing-puing yang penuh dengan sampah—sebab baru difungsikan lagi sebagai masjid di zaman kekhilafahan ‘Umar ibn al-Khaththab berhasil menaklukkan Yerussalem—tetapi shalatnya Nabi saw dan para Nabi semuanya‘alaihimus-salam memberikan pesan bahwa Masjid al-Aqsha itu adalah masjid istimewa yang harus selalu diistimewakan. Maka dari sejak zaman ‘Umar ibn al-Khaththab masjid tersebut sudah difungsikan lagi sebagai tempat shalat sampai hari ini, dan harus terus berlangsung sampai hari kiamat.
Shahabat Abu Dzar ra pernah bertanya kepada Nabi saw tentang permbangunan Masjidil-Haram (masjid yang terhormat/suci) dan Masjid al-Aqsha (masjid yang jauh dari Masjidil-Haram) ini.

عن أَبي ذَرٍّ  قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ مَسْجِدٍ وُضِعَ فِي الْأَرْضِ أَوَّلَ قَالَ الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْمَسْجِدُ الْأَقْصَى قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَهُمَا قَالَ أَرْبَعُونَ سَنَةً ثُمَّ أَيْنَمَا أَدْرَكَتْكَ الصَّلَاةُ بَعْدُ فَصَلِّهْ فَإِنَّ الْفَضْلَ فِيهِ

Dari Abu Dzar ra, ia bertanya: “Wahai Rasulullah, masjid mana yang dibangun pertama kali di muka bumi?” Beliau menjawab: “Masjidil-Haram.” Aku bertanya lagi: “Kemudian yang mana lagi?” Beliau menjawab: “Masjid al-Aqsha.” Aku bertanya: “Berapa lama jarak pembangunan di antara keduanya?” Beliau menjawab: “40 tahun. Kemudian di mana pun waktu shalat datang kepadamu, maka shalatlah sebab keutamaan shalat pasti diperoleh di tempat tersebut.” (Shahih al-Bukhari bab aqulil-‘Llah wa-ittakhadzal-‘Llah Ibrahim khalila no. 3366; Shahih Muslim kitab al-masajid no. 1189-1190).
Ada ulama yang berpendapat bahwa Nabi Ibrahim as yang pertama kali membangun Masjidil-Haram, berarti Nabi Ibrahim pula yang membangun Masjid al-Aqsha. Ada juga yang menyatakan bahwa Masjid al-Aqsha dibangun oleh Nabi Sulaiman as—berdasarkan hadits ‘Abdullah ibn ‘Amr di bawah–berarti jarak antara Nabi Ibrahim as dan Sulaiman as adalah 40 tahun. Tetapi pendapat yang dikemukakan Ibn Hibban ini ditolak oleh semua ulama sebab faktanya jarak masa antara Ibrahim as dan Sulaiman as hampir 1000 tahun. Ada juga yang menyebut Masjid al-Aqsha dibangun oleh Nabi Ya’qub as, cucu Nabi Ibrahim as. Akan tetapi al-Hafizh Ibn Hajar condong pada pendapat bahwa Nabi Adam as yang pertama kali membangun Masjidil-Haram, kemudian beliau juga atau salah satu putranya yang membangun Masjid al-Aqsha. Ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang banyak—yang tidak mungkin disajikan di tulisan ini. Kalau kemudian ada ayat yang menyebutkan Nabi Ibrahim as membangun Masjidil-Haram (QS. 2 : 127) atau hadits yang menyebut Nabi Sualiman as membangun Masjid al-Aqsha, tidak berarti bahwa keduanya yang pertama kali membangunnya, melainkan keduanya melanjutkan atau merenovasi bangunannya (Fathul-Bari bab aqulil-‘Llah wa-ittakhadzal-‘Llah Ibrahim khalila no. 3115). Hemat penulis, tidak terlalu penting siapa yang pertama kali membangun dua masjid tersebut. Yang jelas dari sejak zaman shahabat dua masjid itu sudah menjadi perhatian umat Islam, dan sudah semestinya juga diperhatikan oleh umat Islam sampai akhir zaman.
‘Abdullah ibn ‘Amr meriwayatkan sabda Nabi saw terkait keistimewaan Masjid al-Aqsha ini:

أَنَّ سُلَيْمَانَ بْنَ دَاوُدَ سَأَلَ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ثَلَاثًا فَأَعْطَاهُ اثْنَتَيْنِ، وَأَرْجُو أَنْ يَكُونَ قَدْ أَعْطَاهُ الثَّالِثَةَ، سَأَلَهُ مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ فَأَعْطَاهُ إِيَّاهُ، وَسَأَلَهُ حُكْمًا يُوَاطِئُ حُكْمَهُ فَأَعْطَاهُ إِيَّاهُ، وَسَأَلَهُ مَنْ أَتَى هَذَا الْبَيْتَ – يُرِيدُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ – لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ فِيهِ أَنْ يَخْرُجَ مِنْهُ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : وَأَرْجُو أَنْ يَكُونَ قَدْ أَعْطَاهُ الثَّالِثَ

“(Nabi) Sulaiman putra Dawud—‘alaihimas-salam—ketika memohon kepada Allah ta’ala tiga perkara dan Allah mengabulkan yang dua, aku berharap Allah juga mengabulkan yang ketiga. Ia memohon kerajaan yang tidak bisa dimiliki seorang pun sesudahnya, Allah mengabulkannya. Ia memohon agar hukum yang ditetapkannya sama dengan hukum-Nya, Allah mengabulkannya. Ia memohon agar siapa saja yang datang ke Baitul-Maqdis (Masjid al-Aqsha) yang tujuannya hanya untuk shalat tidak pulang darinya kecuali dengan dosa yang bersih seperti ketika dilahirkan oleh ibunya.” Rasulullah saw bersabda: “Aku memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan yang ketiga.” (Shahih Ibn Hibban dzikr raja khuruj al-mushalli fi masjid al-aqsha min dzunubihi ka yaumi waladathu ummuhu no. 1633. Syua’ib al-Arnauth: Hadits shahih. Catatan: Do’a Nabi saw pasti diijabah).
Hadits di atas menekankan bahwa niat shalat di Masjid al-Aqsha harus menjadi tujuan yang utama, bukan sebatas berkunjung atau berwisata. Dalam banyak hadits lain disebutkan juga keistimewaannya—di samping diampuni dosa sebagaimana hadits ‘Abdullah ibn ‘Amr di atas—sebagai berikut:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ  قَالَ: تَذَاكَرْنَا وَنَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ  أَيُّهُمَا أَفْضَلُ: مَسْجِدُ رَسُولِ اللهِ  أَوْ مَسْجِدُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ فِيهِ، وَلَنِعْمَ الْمُصَلَّى، وَلَيُوشِكَنَّ أَنْ لَا يَكُونَ لِلرَّجُلِ مِثْلُ شَطَنِ فَرَسِهِ مِنَ الْأَرْضِ حَيْثُ يَرَى مِنْهُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا جَمِيعًا – أَوْ قَالَ: خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

Dari Abu Dzar ra ia berkata: Kami berbincang-bincang bersama Rasulullah saw tentang mana yang lebih utama, apakah masjid Rasulullah saw (Masjid Nabawi—pen) ataukah masjid Baitul-Maqdis (Masjid al-Aqsha). Rasulullah saw menjawab: “Shalat di masjidku ini lebih baik daripada empat shalat di masjid itu (Masjid al-Aqsha), dan sungguh baik orang yang shalat di sana. Dan sudah dekat masanya (kiamat—pen) dimana seseorang tidak memiliki seperti tali kekang kudanya di bumi ketika ia melihat Baitul-Maqdis itu lebih baik baginya daripada dunia dan seisinya.” (al-Mustadrak al-Hakim no. 8553. Al-Albani menilainya shahih dalam as-Silsilah as-Shahihah no. 2902)
Jika shalat di Masjid Nabawi lebih baik daripada 1000 kali shalat di masjid lainnya dan lebih baik daripada empat kali shalat di Masjid al-Aqsha, berarti shalat di Masjid al-Aqsha ini lebih baik 250 kali lipat daripada shalat di masjid selainnya. Mengenai keutamaan shalat di dua masjid; Masjidil-Haram dan Masjid Nabawi diriwayatkan oleh ‘Abdullah ibnuz-Zubair sebagai berikut:

صَلَاة فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَل مِنْ أَلْف صَلَاة فِيمَا سِوَاهُ مِنْ الْمَسَاجِد إِلَّا الْمَسْجِد الْحَرَام وَصَلَاة فِي الْمَسْجِد الْحَرَام أَفْضَل مِنْ مِائَة صَلَاة فِي مَسْجِدِي

Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) ini lebih baik daripada 1000 shalat di masjid lainnya, kecuali Masjidil-Haram. Shalat di Masjidil-Haram lebih baik daripada 100 shalat di masjidku (al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra bab fadllis-shalat fi masjid Rasulillah saw no. 10278. Imam an-Nawawi menilainya hasan dalam Syarah Shahih Muslim bab fadllis-shalat fi Masjidai Makkah wal-Madinah).
Hadits-hadits di atas tentu tidak berarti bahwa umat Islam harus menjadi penduduk sekitar Masjidil-Haram, Masjid Nabawi, ataupun Masjid al-Aqsha. Nabi saw sendiri tidak mencontohkan menjadi penduduk Makkah meski shalat di Masjidil-Haram lebih baik daripada Masjid Nabawi. Demikian juga Nabi saw juga tidak menjadi penduduk Baitul-Maqdis (rumah suci/bait suci, sekarang disebut al-haramus-syarif/tempat suci dan mulia, dimana di sana ada Masjid al-Aqsha, Kubah untuk batu yang dahulu Nabi saw menginjakkan kaki sebelum mi’raj atau Qubbah Shakhrah, dan tembok ratapan sisa Haikal Sulaiman/tempat ibadah yang dibangun Nabi Sulaiman) di Kota Tua Yerussalem. Nabi saw sendiri menegaskan di hadits Abu Dzar di awal, di mana pun seseorang berada dan datang kepadanya waktu shalat, maka shalatlah di sana dan itu yang mulia/utama baginya. Penegasan keutamaan shalat di tiga masjid tersebut hanya merupakan anjuran agar dalam hidup ini setiap muslim menyempatkan berkunjung dan shalat di tiga masjid mulia tersebut. Sebagaimana disabdakan Nabi saw dalam hadits ‘Abdullah ibn ‘Amr yang lain:

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ  وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

Jangan dipaksakan rihlah (bepergian) kecuali ke tiga masjid; Masjidil-Haram, Masjid Rasul saw, dan Masjid al-Aqsha (Shahih al-Bukhari bab fadllis-shalat fi Masjid Makkah wal-Madinah no. 1189; Shahih Muslim bab la tusyaddur-rihal illa ila tsalatsah masajid no. 3450).
Hadits di atas tidak melarang rihlah ke tempat-tempat lain selain tiga masjid di atas. Hanya menekankan, jika ke tempat-tempat lain diagendakan rihlah, maka ke tiga masjid mulia tersebut harus lebih dipaksakan lagi untuk diagendakan.
Semoga kita semua ditaqdirkan Allah swt untuk mampu menyempatkan diri berkunjung dan shalat di tiga masjid mulia tersebut. Atau minimalnya hati dan perhatian tidak pernah abai dari tiga masjid mulia tersebut. Setiap kali ada bahaya yang mengancam eksistensi tiga masjid mulia tersebut, hati, suara, dan usaha siap dilantangkan demi menjaga eksistensi ketiga tempat suci tersebut. Amin ya Mujibas-sa`ilin.