Haji dan Qurban

Bagi Perokok Yang Belum Mampu Qurban

Syari’at ibadah qurban setiap tahunnya harus selalu dijadikan ajang muhasabah (evaluasi diri) oleh setiap muslim; mengapa saya tidak kunjung mampu berqurban, sementara merokok mampu, membeli motor juga mampu. Atau mengapa untuk tahun ini saya tidak bisa berqurban sementara tahun kemarin bisa, padahal untuk merokok dan jajan selalu mampu setiap harinya sepanjang tahun tanpa pernah ada liburnya? Termasuk muhasabah apakah ibadah qurban yang sudah diamalkan tahun ini bisa mengantarkan pada akhlaq orang bertaqwa yang menjadi prasyarat mutlak diterimanya ibadah qurban?

Perokok dijadikan sorotan dalam tulisan ini karena memang pekerjaan merokok menghabiskan uang yang banyak tanpa terasa di setiap harinya. Bukan jajan yang diangkat sebab ada sedikit perbedaan, meski kedua-duanya sama dalam hal membelanjakan uang yang berlebih dari kebutuhan pokok. Perbedaannya, merokok hukumnya makruh atau haram (sesuai fatwa MUI tahun 2009), sementara jajan hukumnya mubah. Merokok meski dalam kadar minimal bisa merusak kesehatan diri dan orang lain, sementara jajan tidak, kecuali bagi mereka yang berlebihan. Penilaian serupa juga sama jika hendak membandingkan merokok dengan membeli gadget, smartphone, televisi, dan barang-barang mubah lainnya.
Merokok pasti menghabiskan uang yang banyak tanpa terasa di setiap harinya, karena memang jika dihitung minimal seseorang merokok 1 bungkus per hari, dan kisaran harga minimalnya Rp. 10.000,-, berarti dalam satu bulan seorang perokok telah mengeluarkan uang Rp. 300.000,- untuk merokok. Jika dijumlahkan satu tahun, berarti Rp. 3.600.000,-/tahun. Jumlah sebesar ini sama dengan harga satu saham qurban. Maka kalau kemudian seorang perokok tidak mampu qurban, sudah selayaknya muhasabah; mengapa untuk qurban yang jelas-jelas sunnah mu`akkadah (sunnah yang sangat ditekankan) tidak mampu, sementara untuk merokok yang minimalnya makruh (jelek, dibenci, sebaiknya dijauhi) ternyata mampu.
Jika alasan yang sering dikemukakan karena qurban mengeluarkan uangnya sekaligus dan seringkali tidak punya cukup uang sebesar itu dalam satu waktu, maka semestinya pola seperti merokok diberlakukan. Sisihkan uang setidaknya Rp. 10.000,- per hari untuk qurban. Jika mampunya hanya Rp. 10.000,- karena anggaran merokoknya juga sebesar itu, berarti mulai satu tahun ke depan kurangi volume merokoknya menjadi hanya Rp. 5.000,- dan yang Rp. 5.000,- nya lagi sisihkan di kencleng rumah untuk qurban. Jika tidak cukup untuk qurban tahun yang akan datang, maka insya Allah akan cukup untuk tahun berikutnya lagi. Bahkan jika kadar imannya sudah cukup tinggi, berhenti segera dari merokok jika faktanya untuk qurban tidak mampu. Ganti segera anggaran untuk merokok menjadi anggaran untuk qurban. Sebagaimana ditegaskan di atas, qurban itu sunnah mu`akkadah, sementara merokok minimal makruh.
Bagi perokok yang setiap tahun bisa qurban, hanya untuk tahun ini tidak bisa qurban karena kebetulan sedang tidak punya cukup uang, juga dituntut untuk menerapkan manajemen keuangan seperti di atas. Terapkan pola penyisihan keuangan sebagaimana halnya merokok. Selalu sisihkan uang setiap harinya untuk berqurban, agar tidak ada lagi kasus tidak punya uang cukup menjelang ibadah qurban. Sebab akibatnya jadi malu juga; merokok bisa setiap hari sementara qurban tidak bisa. Terkecuali jika kasusnya ada musibah yang tidak dikehendaki menjelang ibadah qurban sehingga anggaran keuangan untuk qurban digunakan untuk menutupi musibah tersebut, ini tidak dikategorikan harus malu, sebab usaha sudah dilakukan hanya memang ada musibah yang tak diinginkan. Hanya jika pola mu’aqabah (menghukumi diri atas kekeliruan) sebagaimana dianjurkan sebagian ulama hendak ditempuh, seorang perokok yang mengalami musibah seperti itu bisa memberlakukan mu’aqabah/’iqab dengan berhenti merokok setahun ke depan karena pada tahun tersebut ia tidak bisa berqurban. Ia memberlakukan ‘iqab sebagaimana halnya hukuman untuk yang melanggar aturan di sekolah atau perusahaan. Pola ini efektif diberlakukan dalam konteks pendidikan diri untuk mendidik rasa bersalah melakukan sesuatu yang tidak pantas.
Alasan bahwa merokoknya selalu meminta, tidak membeli sendiri, tidak elok dijadikan dalih, sebab meminta harta pun hukumnya haram jika tidak ada udzur syar’i, apalagi meminta sesuatu yang jelas-jelas makruh. Jika alasannya karena merokok juga selalu diberi orang lain, maka berarti harus ada tawashau bil-haq (saling berwasiat) agar yang memberi sebaiknya tidak memberi sesuatu yang makruh. Cukuplah yang makruh untuk diri sendiri, tidak perlu mengajak orang lain untuk terlibat yang makruh. Meski demikian tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa seorang perokok pasti akan memaksakan diri membeli rokok setiap harinya, sebab meminta rokok atau yang memberi rokok tidak selalu ada setiap harinya. Bahkan yang sering terjadi juga, meminta atau diberi selalu ada setiap hari, memaksakan membeli sendiri pun setiap hari. Jadinya selalu dua kali lipat.
Bahkan jika hendak sedikit membuka hati, lawan dari merokok ini bukan hanya ibadah qurban, tetapi ibadah shadaqah secara umum, khususnya kepada keluarga besar/kerabat, orang miskin, dan ibnus-sabil (musafir yang kehabisan bekal). Jika faktanya untuk merokok selalu ada, sementara untuk shadaqah selalu tidak ada, maka ini masuk kategori tabdzir. Pelakunya disebut mubadzdzir.

وَءَاتِ ذَا ٱلۡقُرۡبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلۡمِسۡكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرۡ تَبۡذِيرًا  ٢٦ إِنَّ ٱلۡمُبَذِّرِينَ كَانُوٓاْ إِخۡوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِۖ وَكَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورٗا  ٢٧

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya (QS. al-Isra` [17] : 26-27).
Jadi sungguh berat sebenarnya tantangan amal untuk para perokok. Di samping ia harus membuktikan bahwa merokoknya buka tabdzir lewat ibadah qurban, ia juga harus membuktikan merokoknya bukan tabdzir lewat shadaqah kepada kerabat, orang miskin, ibnus-sabil, dan fi sabilillah lainnya. Akar masalahnya sederhana, merokok hukumnya makruh, sementara shadaqah, infaq, dan ibadah qurban hukumnya sunat, bahkan mu`akkadah (sangat ditekankan). Sabda Nabi saw berikut ini mengajarkan sisi mu`akkadah-nya:

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

Barangsiapa yang mempunyai kelapangan rizki, tapi ia tidak berqurban, maka jangan pernah lagi ia mendekati tempat shalat kami (Sunan Ibn Majah kitab al-adlahi bab al-adlahi wajibah hiya am la no. 3123; Musnad Ahmad no. 8256. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak no. 7672 dan dinilai hasan oleh al-Albani dalam takhrij Sunan Ibn Majah).
Tentunya bagi yang sudah mampu berqurban setiap tahun tidak berarti persoalan selesai dan merokok menjadi halal. Merokok tetap saja hukum minimalnya makruh. Baik bagi yang merokok ataupun tidak, ibadah qurban yang sudah dijalankan harus tetap dievaluasi juga apakah sudah meningkatkan rasa taqwa dalam diri? Sebab Allah swt hanya akan menerima qurban dari orang-orang yang bertaqwa:

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلۡمُتَّقِينَ  ٢٧

Sesungguhnya Allah hanya menerima (qurban) dari orang-orang yang bertaqwa (QS. Al-Ma`idah [5] : 27).
Dalam konteks ibadah qurban, rasa taqwa itu manifestasinya adalah dalam rasa kepedulian dan kesetiakawanan kepada sesama muslim. Rasa taqwa yang sudah bersemayam dalam hati selalu mewujud dalam keinginan untuk berbagi dengan yang membutuhkan meski di saat diri sendiri sedang susah sekalipun agar sama-sama berbagi susah, sebagaimana sama-sama berbagi kebahagiaan. Tidak pernah memendam lagi rasa benci dan dendam kepada setiap muslim yang bersalah, baik ia tidak meminta maaf, apalagi yang meminta maaf. Hatinya selalu siap menebar ihsan (kebaikan) kepada setiap orang karena menyadari diri sendiri pun masih banyak salah dan hilafnya. Itulah rasa taqwa yang harus dimiliki setiap insan yang sudah mampu berqurban, sebagaimana difirmankan oleh-Nya:

وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ  ١٣٣ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ  ١٣٤

(Surga seluas langit dan bumi itu) disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Ali ‘Imran [3] : 133-134).
Wal-‘Llahul-Muwaffiq ila aqwamit-thariq

Related Articles

Back to top button